Kelender Liturgi

Sabtu, 07 November 2015

SEMINAR ISLAMOLOGI (TATA CARA BERDIALOG YANG BAIK)

BERDIALOG ALA KATOLIK  

Saat ini makin banyak perdebatan yang muncul di tengah perjalanan bangsa kita tercinta. Tidak hanya di acara resmi tetapi bisa juga dijumpai di warung kopi bahkan pangkalan ojek. Bukan hanya debat langsung dan terbuka tetapi bisa pula ditemukan di berbagai media baik di televisi hingga media sosial yang mirisnya dilakukan oleh akun-akun yang tidak bisa divalidasi keabsahannya. Topiknya pun beragam, mulai dari masalah bencana asap, polah dari politikus dan selebritis, bahkan hingga hal yang remeh semisal hasil pertandingan sepakbola atau jumlah wajah dalam sebuah gambar. Namun terkadang ada pula yang mengangkat isu sensitif seperti HAM dan SARA untuk diperdebatkan bahkan sebuah keputusan pejabat bisa ramai dibela dan dipojokkan hingga menyangkut agama yang dianut pejabat tersebut. Semua merasa paling benar, paling kuat, dan paling yang lainnya tanpa ada penyelesaian selain sumpah serapah, ancaman, dan penghinaan yang seolah saling berbalas untuk menjatuhkan agama lainnya.
Tergugah dengan fenomena tersebut, maka Paroki Kristus Raja Serang mengadakan Seminar Islamologi yang bertemakan “Bagaimana kita seharusnya berdialog tentang Islam”. Seminar ini dihelat pada hari Sabtu, 24 Oktober 2015, seiring dengan program Kursus Evangelisasi Pribadi yang tengah diadakan di paroki ini. Dalam kesempatan ini, RD. Christophorus Tri Harsono, Vikjen Keuskupan Sufragan Bogor, hadir sebagai pembicara tunggal. Romo yang seorang Islamolog dan sering mengenalkan diri sebagai Romo Ustadz karena kefasihannya berbahasa Arab ini berkenan berada di tengah-tengah peserta KEP dan umat Katolik di Serang. Hal ini sejalan dengan ajaran Katolik dimana semua umat dituntut untuk mengabarkan warta gembira / kabar sukacita sehingga perlu dialog, komunikasi, merasul, dan terbuka terhadap yang lain.
Romo Tri menyampaikan materinya dengan gaya bahasa yang renyah dan diselingi canda yang turut menghidupkan suasana seminar sehingga jauh dari kesan kaku dan membosankan. Beliau mengawali pembahasan tema dengan terlebih dahulu mengungkapkan dua hal yang perlu dilakukan orang Katolik dalam berdialog. Pertama adalah dengan terlebih dahulu mengenali Allah dan ajaran Katolik dan berikutnya adalah menerapkan cara berdialog yang baik. Keduanya harus dilakukan secara berurutan agar menunjukkan semangat pewartaan yang penuh rasa menghargai perbedaan antara umat satu dan yang lainnya.
Pengenalan akan Allah dan ajaran-Nya
Allah melalui Yesus putera-Nya sering dikenal dengan kuasanya yang sanggup menghidupkan orang yang sudah meninggal. Akan tetapi yang terpenting adalah Allah sungguh ajaib karena mampu memberikan kehidupan. Hal ini dapat ditemukan dalam kisah penciptaan dunia beserta isinya yang mana Allah memandang semua itu baik. Meski demikian, terkadang bagi yang salah menafsirkan, kebaikan dan keajaiban Allah terkadang dibelokkan dengan mudahnya hanya karena hal-hal duniawi semata. Romo mencontohkan dua kejadian bagaimana seseorang bisa dengan mudahnya berpaling dan mempercayai agama lain karena keturunan dan kekayaan. Contoh pertama adalah orang yang menikah secara Katolik, lama tidak dikaruniai keturunan, lalu memutuskan untuk menceraikan pasangannya, dan saat berpindah langsung dikaruniai buah hati. Sontak dia berkeyakinan bahwa apa yang dianutnya memberikan kebahagiaan dan beroleh mukjizat. Padahal setelah adanya berbagai konflik dan dites DNA, ternyata sang buah hati adalah keturunan dari pasangannya terdahulu dan saat menganut agama Katolik. Contoh kedua adalah seseorang yang mendadak kaya setelah berpindah agama meskipun jika dilihat lagi, kekayaannya adalah buah saat dia berbuat baik selama menganut ajaran Kristus. Dari kedua contoh di atas, sesungguhnya merupakan ujian bagi iman Katolik kita sebab Allah tentunya punya berbagai jawaban atas segala pinta, apakah itu SABAR, TUNGGU, atau TIDAK jika dirasa memang Allah tidak akan mengabulkannya.
Romo melanjutkan dengan mereka yang murtad atau berpindah agama dengan menggolongkannya ke dalam tiga kategori yaitu murtad hancur lebur, murtad pecah, dan murtad retak. Murtad hancur lebur adalah mereka yang tidak pernah mengenal ajaran Katolik sebelumnya namun kemudian lantang menjelek-jelekkan setelah memeluk agama lain. Bagaimana dengan murtad pecah? Adalah mereka yang berpindah agama karena adanya pengkhianatan, tidak setia kepada pasangan, mengejar karir dan kekayaan, atau hal duniawi lainnya. Sedangkan murtad retak mengandung arti mereka yang masih memeluk agama Katolik, tetapi hanya memberikan kritik, menghakimi ajaran Katolik, tanpa memberikan masukan atau solusi yang membangun, serta mereka yang sulit bahkan tidak pernah mengampuni sesamanya. Untuk mengatasi hal di atas, Romo Ustadz menyarankan agar setiap umat melihat kembali materai jaminan kerajaan Allah yang sudah dimiliki setiap umat Katolik melalui rahmat pembabtisan.  Babtis merupakan awal kita masuk dalam ajaran Kristus, dibebaskan dari dosa asal dan dosa pribadi serta hukuman atas dosa-dosa tersebut. Jadi kenapa harus pindah? Kita harus setia dan semakin mendalami ajaran Katolik untuk lebih mempertebal iman dan percaya pada jalan yang diarahkan-Nya.
Tata Cara Berdialog yang Baik
Setelah mengenal Allah dan ajaran-Nya dengan baik dan mendalam, maka kita baru bisa mengadakan dialog lintas agama ataupun dengan umat Katolik lainnya dengan baik. Beberapa poin tersebut bisa diringkas sebagai berikut :
1.    Mengetahui dan mengimani agamanya sendiri dengan benar serta memiliki gambaran iman dari agama yang akan diajak dialog.
2.    Memiliki pengetahuan iman yang setingkat atau sederajat untuk menghindari miss communication.
3.    Membicarakan keunggulan dan kebaikan dari agama masing-masing sesuai ajaran Kitab Suci tiap agama dan juga persamaan yang bisa ditemui meski tetap menerima perbedaan yang ada.
4.    Hindari membicarakan hal yang sensitif semisal hal poligami, kelemahan Nabi, dan lain sebagainya.
5.    Memilih topik kehidupan, kemanusiaan, pengetahuan dan sosial, kebangsaan, dan hal umum lainnya dan tidak perlu membicarakan aqidah atau dasar keimanan meski tidak masalah bagi agama Katolik.
6.    Peserta dialog tidak hanya para pemimpin tetapi bisa melibatkan banyak peserta asalkan memang memiliki keinginan berdialog yang sama dan dilakukan secara berkelanjutan tanpa ada paksaan.
7.    Setiap agama memiliki tingkat kesulitan dialog yang berbeda sehingga diperlukan upaya cerdas untuk mengatasi penyakit-penyakit agama yang bisa merusak indahnya dialog.

Apa saja penyakit-penyakit agama tersebut? Fanatisme, atau  keyakinan yang berlebihan akan ajaran agamanya dan menganggap agama lainnya salah, cenderung sulit diubah atau menerima masukan. Fatalisme, yaitu kepasrahan terhadap segala hal dan menganggap semuanya adalah nasib yang tidak bisa diubah. Padahal diungkapkan oleh Romo bahwa nasib berasal dari bahasa Arab “an nashib” yang berhubungan dengan manusia utamanya usaha manusia yang hasilnya ditentukan oleh manusia itu sendiri. Berbeda dengan takdir yang asal katanya adalah “al qodr” yang bermakna setiap yang terjadi atas manusia sudah digariskan oleh Allah sehingga meskipun manusia sudah berusaha, namun Allah yang akan menjadi penentunya. Sinkretisme, berupa usaha penyatuan dan pencampuran berbagai tradisi agama dengan perbedaan-perbedaan mendasarnya sehingga muncul sekte atau aliran agama baru. Terakhir adalah Tahayul, yang berasal dari bahasa Arab “al-tahayul” yang bermakna reka-rekaan, persangkaan, dan khayalan atau bisa dengan kata lain tahayul adalah kepercayaan terhadap perkara gaib, tanpa diselidiki lebih lanjut kebenaran atau sebab-sebabnya.

Romo Tri membawakan setiap bahasannya dengan lugas dan penuh penekanan di bagian tertentu sehingga menarik umat peserta seminar. Sesi tanya jawab menjadi padat dengan aneka pertanyaan mulai dari pertanyaan terkait ayat Alkitab maupun hal-hal seputar sosial dan adat. Beberapa dijawab dengan mantab oleh Romo termasuk bagaimana mewujudkan dialog sederhana antar umat beragama di lingkungan sekitar melalui kerja bakti atau hajatan tetangga rumah serta membentuk kelompok dialog melalui WKRI, Legio Mariae, bahkan kelompok kategorial yang berhubungan dengan umat beragama lainnya. Romo merangkum seminar kali ini dengan harapan agar sebagai umat Katolik harus mampu untuk mengusahakan dialog antar umat beragama dengan baik, dengan terlebih dahulu mempertebal keimanan kita melalui banyak hal semisal mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi. Dengan semangat evangelisasi, maka akan tercipta lecutan energi untuk berani mewartakan kabar sukacita Allah tanpa harus memandang dengan siapa kita akan mengabarkannya. Romo menegaskan bahwa agama Katolik selalu terbuka untuk setiap dialog dan bahkan diatur dalam Dekrit, Insiklik, juga pedoman serta ajaran yang unggul. Selamat berdialog ala Katolik!






0 komentar: